Ditengah kekalutan akan ketakutannya yang menjadi nyata untuk kesekian kalinya, perempuan satu ini berusaha menggapai lelaki itu kembali. Ia butuh penjelasan. Ia ingin penjelasan. Ia tak bisa terima kalau bunga yang selama ini ia sirami disiram oleh perempuan lain. Di sisi ini ia sadar, ia terlalu menyayangi bunga itu. Ia merasa sangat kehilangan. Ia tak bisa berjalan sendiri, ia tak bisa berpetualang sendiri.
Layaknya trauma, luka itu berdarah lagi. Sakit dan kecewa. Perempuan satu ini berdiskusi terlebih dahulu dengan hatinya. Dengan segala keberanian yang ada, ia mengakui kesalahannya. Ia tidak pernah bisa menjaga bunganya dengan baik. Ia tidak pernah bisa menghargai bunganya dengan baik. Ia tidak baik. Ia tidak baik.
Tapi tetap, hatinya memar. Trauma yang berulang. Luka yang berdarah kembali. Hancur. Remuk. Redam.
Tak lama, penjelasan ia dapat. Seharusnya tidak seperti ini. Seharusnya tidak pernah seperti ini. Logikanya mencoba untuk berjalan mengalahkan sakitnya trauma yang pernah ada. Logikanya berusaha untuk melupakan tapi hatinya belum bisa lupa.
Sakitnya masih terasa. Terlebih jika teringat dalam selintas. Perempuan ini akan selalu ingat perkataan lelaki itu, "Karenamu aku kehilangan temanku."
"Karenaku. Karenaku. Karenaku. Semua salahku."
Perempuan satu ini termangu. Ia bingung. Logikanya selalu terlambat mencerna perkataan orang. Hatinya pun sama lambatnya. Ia tidak peka. Dan ia selalu terluka diakhir, setelah logika dan hatinya selesai mencerna.
Perempuan satu ini berjanji kepada dirinya sendiri. Menjadi perempuan yang lebih baik. Menjadi perempuan yang tidak lalai.
Terlebih.
Perempuan satu ini berjanji. Tak peduli seberapa sakit dari lukanya yang berdarah, ia tak akan menceritakannya pada siapapun. Biar luka ini berdarah dan sembuh dengan sendirinya. Mungkin jika tak sanggup lagi, perempuan satu ini akan membiarkan airmata menghapus jejak basahnya luka menjadi basahnya airmata. Ia tau waktu akan menyembuhkan. Ia tau suatu saat nanti ia akan lupa. Tapi untuk sementara ini, biarkan lukanya berdarah. Biarkan pikirannya tidak pernah lupa.
Perempuan satu ini sudah memaafkan, sudah mencoba yang terbaik. Yang menjadi masalah adalah, perempuan satu ini trauma. Dan trauma selalu menyisakan luka; menjadikan ia tak pernah lupa.