Perempuan satu ini terdiam. Ditengah malam. Diantara heningnya suasana. Tapi pikirannya sibuk. Memikirkan ini-itu. Kesana-kemari. Memejamkan mata serasa percuma; pikirannya tak mau terpejam.
Perempuan satu ini bingung. Hatinya terasa sakit saat tersentuh. Ternyata sedikit memar. Salahnya sendiri memang. Padahal sudah ia obati sedemikian rupa. Analgetik, antipiretik, bahkan anastesi sudah ia coba. Harusnya sudah sembuh. Sudah hilang rasa sakitnya. Tapi ternyata tetap terasa. Obatnya tidak berguna? Atau hatinya terlampau bebal?
Kejadian ini bukan pertama kalinya. Kejadian ini sudah berulang untuk kesekian kalinya; dengan orang yang berbeda. Perempuan ini sadar, harusnya ia tidak merasa sakit lagi. Harusnya ia mengerti; bahwa mungkin ini salahnya. Mungkin dirinya penyebab dari kejadian ini. Tapi ia terlalu naif untuk mengakuinya.
Mari kita ulang waktu. Kita saksikan mengapa perempuan ini merasa tersakiti. Pertama kali ia merasa remuk redam, mungkin sekitar delapan tahun yang lalu. Saat pertama kali ia menemukan lelaki yang ia sirami bunganya setiap hari, ternyata tertarik dengan sumber mata air yang lain. Perempuan ini bingung untuk pertama kalinya.
"Apa salahku?"
Ia bertanya pada lelaki itu. Dan lelaki itu berkata, "Tidak ada yang salah. Aku yang salah."
Perempuan satu ini mencoba memaafkan, walau ternyata belum melupakan. Ia masih ingat ketika hatinya merasa dicurangi pertama kali. Setelah dicurangi untuk pertama kalinya, ternyata kejadian itu terulang berkali-kali. Jengah. Akhirnya ia berhenti menyirami bunga untuk lelaki itu.
Sedih. Remuk. Redam. Hatinya hancur sejadi-jadinya.
Berulang kali pertanyaan "Apa salahku?" berputar dipikirannya. Semakin berulang, semakin ia tak menemukan jawaban. Diaamiini pula oleh orang-orang sekitar. Yang tidak pula menemukan jawaban.
Beberapa purnama berlalu. Perempuan satu ini tak kunjung menemukan jawaban. Ia melakukan beberapa petualangan sendiri. Mencari bunga yang pantas untuk ia sirami. Agar air tidak terbuang sia-sia. Agar ia bisa merawat dengan baik. Agar ia tidak jatuh lagi, untuk kesalahan yang sama.
Sampai akhirnya mata air yang sudah lama disembunyikan pun dikeluarkan oleh perempuan satu ini. Ia memutuskan merawat bunga untuk orang yang disayanginya dengan sangat. Dengan harapan ia tak pernah dicurangi lagi. Dan hatinya tak akan pernah hancur lagi.
Dengan bahagia ia mulai menyirami bunga. Dari hari ke hari. Bulan ke bulan. Sampai di suatu hari, setelah ia menyirami bunga tiba-tiba ia merasa lelah. Ia merasa lelah dengan rutinitas hidupnya. Ia pun merasa lelah menyirami bunga. Ia jengah. Ia tak ingin lagi. Ia ingin merasakan hidup bebas tanpa harus menyiram bunga. Ia ingin tau akankah ia bertahan, atau malah merindukan.
Perempuan satu ini memutuskan untuk berhenti sejenak. Ia ingin berhenti tapi hatinya mengatakan untuk tidak berhenti. Pikirannya tidak sinkron dengan hatinya. Akhirnya perempuan satu ini memutuskan untuk berpetualang dan meninggalkan bunga dan lelaki itu sendiri. Sedih? Ya. Tapi rasa lelah mendominasi pikirannya. Ia tak peduli. Ia tak mau tau apa yang terjadi saat ia pergi.
Sampai akhirnya suatu waktu. Saat ini memutuskan untuk berhenti. Ia tau kalau bunganya disirami air lain. Untuk kesekian kalinya di hidup perempuan satu ini, hatinya remuk redam. Memar. Hancur sejadi-jadinya. Ketakutannya terulang kembali.
Perempuan satu ini ingat, dulu sahabatnya pernah bertanya, "Kenapa lelaki itu bilang padaku kalau dia merindukan yang lain? Padahal rindu seharusnya tidak perlu dibagi-bagi. Padahal ia tau aku sahabatmu."
Perempuan satu ini bingung. Ia tersenyum. Ia tak pernah tau jawabannya.